Prolog
“apa yang ku lakukan disini?” ucapku sambil menutup mataku ditengah taman yang kosong. Jam tanganku masih menunjukan angka 11 lebih 10 menit malam. Angin kencang menembus jaketku yang memang agak tipis. Kurapatkan tanganku, dan menghebuskan nafasku dengan keras.
“Apakah kau juga sedang mengalami hal yang buruk?” tanpa ku sadari, seorang perempuan yang sepertinya jauh lebih muda dariku, sedang berdiri dibelakangku dengan sebuah plastik yang penuh dengan kaleng-kaleng bir.
“Bukankah seharusnya itu kalimatku?”
Perempuan muda itu kemudian duduk disebelahku tanpa persetujuanku, dan menaruh sekaleng bir dipangkuanku, “namaku Maria. Aku akan sangat menghargai jika kau tidak membicarakan sesuatu tentang tugas akhir. Aku sedang mengalami hari yang berat.” ucapnya dengan pandangan kosong kelangit malam.
“aku tidak tahu apa yang harus kukatakan. Ini pertama kalinya aku bersama seseorang menati hari esok sebelumnya.” Balasku sambil membuka kaleng bir pemberiannya, dan langsung menghabiskan setengahnya tanpa henti.
“sebelumnya? Apakah kau selalu seperti ini disetiap malam?” tanya Maria dengan ekspresi kagetnya, yang membuatku tertawa. “Mengapa kau tertawa__”
“Anna. Namaku Annastasha Roberth.” putusku sambil tersenyum.
“___sekali lagi Anna! Mengapa kau tertawa?”
“ketika kau mengatakan itu, aku merasa seperti wanita tua yang menyedihkan. Bukankah itu lucu?” Ucapku sambil menundukan wajahku dan tersenyum kecil.
“Wanita tua? Apa yang kau bicarakan? Kita masih seumuran bukan? Dua puluh dua tahun?” ucap maria sambil menepuk nepuk pundakku. Akupun tertawa terbahak bahak, dan mengacak acak rambutnya, “apa yang kau bicarakan? Aku berharap aku masih berumur dua puluh dua tahun. Huh, entah mengapa aku merasa seperti dihina, aku jauh 4 tahun lebih tua dari itu.”
Maria berteriak dikupingku, dan menatapku dari bawah sampai ke atas, “Benarkah? Dua puluh enam tahun? Kau tampak jauh lebih muda dari itu! Ya tuhan! Jika saja aku bisa mengulang waktu, aku akan terus berolahraga dan semacam agar bisa terlihat sepertimu.”
“Ya, jika saja kau bisa mengulang waktu. Dan sayang kita tidak diperbolehkan untuk itu.” ucapku dengan wajah murungku menatap bulan, kemudian aku meneruskan meminum birku dan sekejap, isi kaleng itu lenyap.
Maria menatapku dalam-dalam, “kau benar benar sedang mengalami hari yang berat, huh?” ucapnya sambil memberikan sebuah kaleng bir lagi kepadaku. Namun kali ini, dia membukakan kaleng itu terlebih dahulu, dan dengan senyuman dia memberikannya kepadaku.
“Yep! Kau bisa menebaknya hanya dengan melihatku saja, bukan__”
“Jika kita bisa mengulang waktu, apa yang ingin kau lakukan?” putus Maria. Lima detik, aku terdiam, dan kemudian, akupun tersenyum kembali. “Tak banyak, mungkin__ aku akan kembali untuk melihatnya tersenyum__ah.. Tidak.. Aku kembali untuk meninju perutnya, membuatnya menangis dan tersenyum bersamaan.”
“Dia? Siapa? Mantan pacarmu?” tanya maria.
“Bukan__apa yang bisa kukatakan__kami selalu bersama tetapi bukan sepasang kekasih, kami berdua terikat dengan ikatan yang lebih dalam dari itu. Kalimat yang kami ucapkan hanyalah biasa, tetapi memiliki arti yang lebih dalam dari bemesraan bagi kami__ setidaknya, itulah kami dulu.”
“Wow_ itu sangat dalam. Siapa dia?”
“dia hanyalah seorang lelaki yang patut untuk dikenang. Dialah penyebab mengapa aku selalu melamun menunggu kedatangan tanggal 25 agustus seperti ini. Merayakan hari kelahirannya, dan kepergiannya dihidupku___” tanpa kusadari, aku menceritakan semuanya tentangnya kepada Maria.
Semuanya...
Chapter. 1 “kutemukan kau!”
“Inikah sekolah baruku? Sekolah ini besar dan luas juga! WOW! Seandainya aku bisa memiliki sekolah sepeti ini!”
“apa yang kau bicarakan nona muda? Sekolah ini milik ayahmu, dengan kata lain, ini adalah milikmu.”
“benar.. Benar.. Ini milik ayahku__huh?! Milik ayahku?! Tidak mungkin! Dia hanyalah orang kaya penggila bisnis international! Dia tidak pernah memikirkan tentang pendidikan! Lagi pula__ dia tidak pernah mengatakan apapun tentang sekolah ini!”
“maaf nona muda, saya tidak bermaksud untuk menjelekan anda, tetapi, menurutmu bagaimana kau bisa pindah kesekolah berprestasi seperti ini dengan nilai rendahmu itu?”
“OUCHH!! Henry.. Itu lebih ke penghinaan dari pada menjelekan. Lagi pula, sekarang apa yang harus kulakukan? Aku tidak suka menjadi pusat perhatian orang! Kuharap mereka semua tidak mengetahui info tersebut! Huahh!!”
Pintu sebuah mobil hitam mewah yang terpakir didepan gerbang RB school, sebuah sekolah swasta yang sangat diakui, dan memiliki fasilitas terlengkap ke tiga diseluruh dunia, terbuka
Dari balik pintu itu, keluarlah seorang wanita dengan rambut coklat panjangnya yang digerai bebas, dengan seorang supir yang membukakan sebuah payung untuknya berlidung dari sinar matahari yang terik.
Semuanya orang yang berada dihalaman sekolah memandangnya sambil terpanah, sampai sepuluh detik berikutnya....
“Sudah kubilang aku tidak suka menjadi perhatian orang!” aku meninju perut supirku dan mendorongnya masuk kembali kedalam mobil “Ahh... Kuharap tidak ada yang melihat__”
“Benarkah? Kau berharap tidak akan ada yang melihat kejadian itu?” seorang lelaki membuatku tediam sebentar dengan memutus omonganku. Aku menengok kebelakang, sambil berdoa bahwa lelaki itu bukanlah seseorang yang kejam atau sebagainya. Dan didepan gerbang sekolah, dengan lilitan syal putih dilehernya yang cocok dengan seragamnya yang rapih, dan emblem ketua osis ditangan kanannya, berdirilah seorang lelaki berambut hitam, bermata hijau, dan beraura sadis, yang langsung membuatku terpanah.
“Kau Annastasha Roberth bukan? Namaku Aaron thysson. Kepala sekolah menyuruhku untuk memberimu Tour keliling sekolah ini sebelum kita masuk kelas. Sebaiknya kau melangkah dengan cepat, aku tidak mau ketinggalan mata pelajaran hanya karena hal spele seperti ini.” Ucapnya dengan lirikan yang sinis dan tajam.
Aaron mulai berjalan dengan cepat, aku butuh berlari kecil untuk mengejarnya. Kami selalu berhenti sebentar, setiap melewati ruangan karena aaron selalu menjelaskan fungsi setiap ruangan dengan detail. Aku memperhatikan setiap ucapannya dengan sangat seksama. Setiap kami melawati pelajar yang lain, mereka selalu menundukan kepalanya dihadapan Aaron. Akupun ikut menundukan kepalaku, karena entah mengapa, aku memiliki perasaan akan mendapatkan masalah jika aku menatap mata Aaron. Sesekali aku memperhatikan wajah Aaron, dan setiap aku melakukan itu, aku selalu mendapati ekspresi kesinisan dan kesadisan darinya.
Namun, ekspresi itu sempat beruabah drastis, dan membuatku sedikit shock. Pada saat itu, kami berjalan menuju ruang olah raga, yang harus melewati sebuah lapangan terbuka yang sangat luas. Angin kencang bertiup, dan membuat syal putih yang dililitkan dilihernya terbuka dan terjatuh. Dan disaat itulah, ekspresi ketakutan, dan kebingungan, terlihat bergitu jelas.
Ingin membantunya, aku melangkah mendekatinya, untuk mengambilkan syalnya untuknya, namun gerakanku terhenti. Sesuatu menarik perhatianku. Sebuah bekas jahitan tertera dileher kiri Aaron, cukup lebar, seperti bekas belekkan pisau. Tangan aaron pun bergerak cepat menutupinya, dan segera mengambil syalnya untuk dililitkannya kembali menutupi lehernya. Melihat dia sebegitu kerasnya berusaha untuk menutupi lukanya, aku mengerti dan menghipnotis diriku, berpura pura tidak melihat apapun.
“Apa yang kau lakukan? Kita harus segera menyelesaikan tour ini, kau tidak mau ketinggalan pelajaran bukan?” ucapku dengan senyuman dan kuberikan tanganku untuk membantunya berdiri.
Tour kamipun berakhir. Kami berdiri dihadapan sebuah kelas yang rupanya, adalah kelasku dan Aaron. Kelas 2. C. Tanganku pun bergerak untuk mengetuk pintu kelas yang tertutup, dan seketika, tangan Aaron menggenggam tanganku sehingga berhenti bergerak.
“Apa yang kau lihat ditengah lapangan, aku akan rela melakukan apapun jika kau berjanji untuk menutup mulutmu. Aku tahu kau melihatnya.” ucapnya dengan dingin dan pandangan lurus kepintu.
“jadilah pacarku,” seandainya aku bisa mengatkan itu, aku tahu aku harus melakukan sesuatu yang lebih baik dari itu.
Kedua tanganku kuletakan diwajah Aaron, dan memaksanya untuk menatap wajahku. Dan kubuat senyuman setulus mungkin, “tersenyumlah! Berbahagialah! Itu akan mengurangi bebanmu.” ucapku dengan gembira. Aku tidak terlalu berharap banyak, tetapi, dalam hitungan detik, Aaron tersenyum lepas kepadaku. Dan aku seperti,
“ahh! Kutemukan kau! Dirimu yang sebenarnya, seorang Aaron Thysson!”
